The Girls of Riyadh; Penentangan Kultur di Arab Saudi


Judul Novel : The Girls of Riyadh
Pengarang : Rajaa Al Sanea
Penerjemah : Syahid Widi Nugroho
Penyunting : Mehdy Zidane
Penerbit : Ramala Books (Ufuk Press), PT. Cahaya Insan Suci, Jakarta
Tebal Novel : 406 halaman
Cetakan I : Desember 2007

Internet merupakan terobosan teknologi yang mengubah banyak hal, termasuk budaya. Di Riyadh, ibukota Arab Saudi, email beruntun selama enam tahun tentang kisah nyata kaum perempuan Arab yang hak-haknya tidak sejajar dengan kaum laki-laki, memunculkan pro dan kontra. Inilah ide dasar novel The Girls of Riyadh.

Novel ini tentang seorang gadis anonim dengan alamat email seerehwenfadha7et@yahoo.com yang menceritakan kisah empat sahabat dengan nama samaran; Qamrah El Qashmany, Shedim El Harimly, Lumeis Jadawy dan Michelle El Abdul Rahman, kepada anggota mailing list seerehwenfadha7et@yahoogroups.com. Bagian-bagian kisah tersebut diemailkan si penulis anonim saban hari Jumat, hari libur di Arab Saudi.


Keempat sahabat ini digambarkan sebagai, “... wanita-wanita semi eksklusif di tengah pergaulan masyarakat” (hal 173) dan hadir dengan persoalan masing-masing, namun bertumpu pada satu titik; ketidakadilan gender di zaman moderen. Banyak gadis harus menikah dengan pilihan orang tua, setelah melewati sebuah lembaga pertemuan syufah, yakni saat calon suami dipertemukan dengan calon istrinya. Itulah pertemuan pertama sebelum pernikahan yang berlangsung sekitar tiga bulan kemudian. Kultur ini sulit berubah, karena prinsip umumnya, cinta dan kasih sayang yang murni hanya dapat tumbuh dan berkembang setelah pernikahan.



Membantah adagium ini, penulis anonim mengemukakan kisah Qamrah. Gadis ini menikah dengan pria bernama Rasyid dalam sebuah pesta meriah dan kemudian diboyong ke Chicago, Amerika Serikat (AS) karena Rasyid belum selesai pascasarjana-nya. Ternyata cerita indah pernikahan hanya terjadi saat pesta pernikahan dan sepanjang bulan madu di Italia. Pertemuan syufah tidak bisa menunjukkan kenyataan bahwa sebenarnya Rasyid seorang laki-laki yang kasar. Qamrah selalu dihina, dicela, dan belakangan dipukul karena mengetahui perselingkuhan Rasyid dengan Karey, perempuan asal Jepang.

Perselingkuhan sudah lama, bahkan sebelum menikah, Rasyid telah lama hidup serumah dengan Karey di AS. Ketika Qamrah melabrak Karey, sang suami malah balik memukul Qamrah yang tengah hamil muda. Qamrah pulang ke rumah orang tuanya di Riyadh, melahirkan anak dan kemudian menjanda; status sosial yang dianggap rendah.

Kisah sedih Qamrah jadi catatan tiga sahabatnya untuk mencari suami berdasarkan cinta. Tetapi menabur benih cinta di Riyadh banyak tantangan. Penegakan hukum sangat ketat. Seperti yang dialami Lumeis. Polisi syariat menangkapnya saat duduk bersama Ali di sebuah kafe. Lumeis dilepaskan setelah orang tuanya menjemput ke kantor polisi dan menandatangani sejumlah formulir. Hubungan keduanya terpisah, apalagi Ali seorang penganut paham Syiah yang dalam banyak hal beda pemahaman dengan Sunni yang dianut keluarga Lumeis.

Pacaran bukanlah sesuatu yang lazim. Budaya seperti ini dihempang, walau penentangan terus terjadi. Valentine Days dilarang, namun secara diam-diam banyak pasangan merayakannya. Sex pranikah juga terjadi. Shedim menyerahkan raganya kepada Walid, setelah mereka bertunangan. Shedim menyangka setelah bertunangan, hubungan sex dapat saja dilakukan. Shedim yang ditinggal mati ibunya sejak kecil, tidak memiliki pengetahuan sampai di mana batasan itu.

Ternyata malam pertama pranikah itu, menjadi malam terakhir pertemuan Shedim dengan Walid. Perempuan itu hanya bisa menduga-duga mengapa Walid meninggalkannya. Shedim yang berupaya bangkit dari duka, berangkat ke London dan bertemu dengan Faraz dan menjalin hubungan yang lebih baik. Jenjang pernikahan sudah demikian dekat, namun tak lama setelah Shedim menceritakan masa lalunya dengan Walid, perubahan sikap terjadi. Faraz lantas menikah dengan wanita lain.

Sementara Michelle terpaksa mengakhiri hubungan dengan Faishal karena calon mertua tidak berkenan dengan trah keluarga Michelle, sebab ibunya keturunan AS, walau sudah pindah ke agama Islam. Secara fisik Michelle molek, namun Faishal akhirnya menikah dengan wanita yang tidak begitu cantik karena manut pada pilihan orang tua. Michelle kemudian pindah kuliah ke AS dan menjalin hubungan dengan Matthew, sepupu dari sebelah ibu yang beragama Nasrani. Kali ini penentangan datang dari keluarga Michelle dan kuliahnya dipindahkan ke Dubai.

Dalam rangkaian kisah-kisah keempat sahabat itu, kalimat-kalimat penentangan kultur yang menomorduakan perempuan terus dimunculkan. Perempuan harus “...mandiri dan lebih kuat mempertahankan hak-haknya... Tidak pernah mengalah kepada laki-laki, terutama pada berbagai hal yang menyangkut pembelaan hak dan mempertahankan harga diri.” (hal 273).

Keempat perempuan Riyadh itu melakukan penentangan dalam skala minimal, menolak untuk dirinya sendiri, dan si penulis anonim menyampaikannya melalui milis hingga kemudian tersebar luas menjadi sebuah gerakan moral yang mendapat respon. Pro dan kontra muncul di media massa tentang tulisan-tulisan yang dikirimkan si penulis anonim.

Secara umum novel ini cukup menggugah dan menarik dibaca. Penuturannya dominan narasi. Kadang sampai delapan lembar halaman novel, tidak terdapat satupun kutipan langsung. Kisah keempat sahabat ditutup dengan happy ending. Qamrah bertahan dan bahagia dengan status janda, menolak menikah dengan seorang duda dan bertekad membesarkan anaknya. Lumeis menikah dengan kawan kuliahnya Nizar dengan dasar cinta, dan Shedim akhirnya berhasil menghilangkan menikah dengan sepupunya Thariq atas pilihan hatinya sendiri, dan Thariq dapat menerima masa lalu Shedim. Sementara Michelle menemukan kebahagiaan di Dubai karena bisa ikut dalam berbagai kegiatan seni dan budaya, tanpa hambatan budaya karena Dubai sudah lebih demokratis.

Secara keseluruhan, kisah novel ini mirip dengan apa yang dilakukan Raden Ajeng Kartini, dengan korespondensi kepada sahabat-sahabat penanya di luar negeri tentang kondisi sosial kaum perempuan di negerinya. Lantas atas prakarsa Direktur Dinas Pendidikan dan Kebudayaan JH Abendanon, salah satu sahabat pena Kartini, maka pada tahun 1911 surat-surat itu diterbitkan menjadi buku berjudul Door Duisternis tot Licht. Gedachten Over en Voor Het Javaaansche Volk van Raden Ajeng Kartini, yang kemudian diterjemahkan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang dan menjadi manual book di Tanah Air untuk masalah emansipasi.

The Girls of Riyadh ditulis Rajaa Al Sanea, seorang dokter gigi. Perempuan ini masih berusia 25 tahun saat pertama kali menuliskan versi asli novel tersebut dalam bahasa Arab pada tahun 2005. Peredaran novel ini dilarang pemerintah Arab Saudi, namun larangan itu tidak bisa membendung peredaran di pasar gelap. Novel ini mengalir ke belahan dunia lain, hingga menjadi international bestseller dan sudah diterjemahkan di lebih dari 25 negara, termasuk Indonesia.

Kendati novel ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, namun judulnya tetap menggunakan bahasa Inggris, tidak diterjemahkan menjadi “Perempuan-perempuan Riyadh”. Agaknya penerbit maupun penerjemah punya pertimbangan sendiri mengenai hal ini. Gangguan-gangguan kecil ada pada penulisan kata yang mencerminkan tidak cermatnya penyunting. Lebih dari 20 kata salah penulisannya. Tiga di antaranya, tertulis “Flelaki” padahal seharusnya “Lelaki” (hal 239), kemudian tertulis “Lebanaon” (hal 245), padahal harusnya “Lebanon”, dan tertulis “mensiatasi” padahal seharusnya “mensiasati”. (hal 249).

Silakan Download di sini




0 comments:

Post a Comment